LOGIKA KENISCAYAAN
Dalam kerangka befikir fiqhiy, ada suatu istilah yang
amat penting; fardhu. Fardhu adalah kewajiban yang harus
dilakukan. Fardhu ‘ain artinya
kewajiban bagi tiap individu. Fardhu
kifayah artinya kewajiban bagi setiap kelompok orang (masyarakat). Setiap
Muslim harus melakukan sesuatu yang
di-fardhu-kan oleh Islam, walaupun
dalam kasus fardhu kifayah, kewajiban
ini gugur pada saat ada Muslim lain yang telah menunaikannya.
Berfikir dengan kerangka fiqh, membuat seorang berfikir fardhu-haram-makruh-sunnah-mubah. Jika fardhu dan sunnah memperoleh pahala. Jika haram memperoleh dosa. Jika mubah
tidak memperoleh apa-apa. Berfikir seperti seorang pedagang. Barang dagangannya
“amal” . Labanya “pahala” = “surga”. Ruginya
“dosa” = “neraka”.
Dari sudut pandang ini, mungkin ada orang yang bertanya ;
menggunakan logika dalam Islam ini hukumnya apa apakah fardhu atau lainnya? Atau lebih gamblang lagi apakah seorang Muslim
harus menggunakan logikanya untuk mencapai Tauhid atau tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini ,
mungkin perlu kita tinjau terlebih dahulu dua istilah dalam logika matemaatika,
necessary & sufficient condition.
Syarat perlu (atau syarat mesti), dan syarat cukup. Apa yang dimaksud dengan
syarat mesti? B disebut syarat mesti dari A
jika keberadaan (kebenaran) A memestikan/mem-pasti-kan keberadaan
(kebenaran) B.
Contohnya; B : x adalah bilangan nyata positif. A : x
adalah bilangan nyata yang lebih dari 3.
Maka B adalah syarat mesti dari A. Apa artinya? Jika A benar (yaitu x adalah
suatu bilangan nyata yang lebih dari 3), pasti B benar (yaitu pasti x adalah suatu bilangan nyata yang positif).
Di sisi laim apa yang dimaksud dengan
syarat cukup? B disebut syarat cukup dari A jika keberadaan (kebenaran) B
men-cukup-kan atau mem-pasti-kan atau men-implikasi-kan keberadaan (kebenaran)
A. Contohnya B : ada dua benda bermuatan
listrik berada pada jarak tertentu, A : kedua benda tersebut akan saling tarik
menarik atau tolak menolak. B
mem-pastikan A, sebaliknya A tidak mempastikan B.
Dalam filsafat, manusia didefenisikan
sebagai hewan yang berfikir. Jadi jika X manusia pasti X berfikir. Berfikir
adalah syarat mesti bagi ke-manusiaan. Jadi jika X tidak berfikir pasti X bukan manusia. Selanjutnya jika X
berfikir maka X pasti menggunakan
logika/kaidah berfkir. Jadi menggunakan logika merupakan syarat mesti bagi bagi berfikir. Jadi jika X tidak menggunakan
logika pasti X tidak berfikir , dan karena itu pasti X bukan manusia. Jadi
apakah berfikir dan menggunakan logika itu keharusan? Tidak. Ia bukan
keharusan. Tapi suatu kemestian. Suatu keniscayaan. Thou’an au karhan.
Sebagai suatu contoh lain yang
sederhana, prinsip logika identitas (qanun
dzatiyah), bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya sendiri tidak mungkin kita
tinggalkan dalam setiap aktifitas. Pada saat melihat bebek, kita yakin bahwa
bebek adal bebek. Pada saat mendengar suara gitar, kita yakin bahwa tiap nada
dan suara memiliki identitasnya sendiri-sendiri. Pada saat merasa panas , kita
yakin bahwa panas tersebut memiliki suatu identitas sendiri. Di mana kita bisa
mengharuskan logika, sedangkan ia ada “sebelum” kita “ada” dan ia selalu
menyertai kemanapun kedipan mata memandang?
Komentar Anda di rwblog.id adalah tanggapan pribadi, kami berhak menghapus komentar yang mengandung kata-kata pelecehan, intimidasi, dan SARA.
EmoticonEmoticon