Logika Dialekti |
Rumah tua itu kosong. Namun ketika
dilewati, terdengar rintihan. Kami pun berlari terbirit-birit.”Pasti ada hantu di dalamnya.” Demikian hadir-nya dan demikian penting prinsip
non-kontradiksi ini, sehingga tidak ada satu saat pun yang lolos dari kehadiran
dan keniscayaannya. Seperti ungkapan penyimpulan yang dikutip di atas. Kalau di
susun lagi urutan penyimpulannya adalah sebagai berikut. Jika ada suara dari sebuah rumah, pasti ada yang mengeluarkan suara tersebut
dalam rumah itu. Walaupun terdapat fakta bahwa di rumah tua itu tidak ada orang, tapi karena ada rintihan dari suara itu, kita tetap
yakin ada yang mengeluarkan suara
rintihan tersebut. Ada berkontradiksi
dengan tidak ada, dan karena
kontradiksi tidak mungkin, tidak mungkin tidak
ada yang mengeluarkan suara rintihan tersebut. Karena itu kita tetap yakin ada yang mengeluarkan suara, yaitu
(mungkin) hantu.
Ketidak-mungkinan terjadinya
kontradiksi logis dalam realitas ini disebut dengan prinsip non-kontradiksi.
Prinsip ini menjadi dasar sekaligus hakikat logika klasik (the very nature of classical logics). Jika diringkas secara
simbolis adalah sebagai berikut, A tidak
sama dengan (bukan A) dan A sama dengan A sendiri. Tidak ada satu kebenaran
apapun yang bisa ditahkik tanpa menggunakan prinsip ini sebelumnya. Meyakini
kebenaran prinsip non-kontradiksi merupakan syarat mesti (necessary condition) bagi meyakini seluruh kebenaran lain. Dan
keyakinan kebenaran prinsip ini ternyata hadir dalam kesadaran setiap insan.
Orang yang meyakini prinsip
non-kontradiksi percaya bahwa jika suatu proposisi tertentu benar, tidak
mungkin pada saat yang sama ia salah. Dan kalau proposisi tertentu benar, maka
proposisi lain yang berkontradiksi dengan proposisi itu pasti salah. Sebaliknya
jika suatu proposisi tertentu salah, tidak mungkin pada saat yang sama ia
benar. Contohnya; jika kita meyakini proposisi bahwa “ Tuhan (Allah) itu Satu.”
benar, maka proposisi bahwa “Tuhan (Allah) itu dua” atau “Tuhan (Allah) itu
tiga” pasti salah. Kenapa ? Karena pernyataan bahwa sesuatu itu satu jelas
berkontradiksi dengan sesuatu itu bukan satu (yaitu dalam hal ini dua atau
tiga).
Selanjutnya karena jelas bahwa
proposisi “Tuhan(Allah) itu dua” atau “Tuhan(Allah) itu tiga” salah, tidak
mungkin mereka benar.
Para materialis, atau lebih akurat
lagi Marxis, tidak percaya pada kesahihan prinsip non-kontradiksi. Bahkan lebih
jauh, mereka percaya bahwa justru kontradiksi-lah hal yang paling hakiki yang
ada merupakan detak jantung seluruh gerak alam ini. Strukturnya: jika ada tesa
maka ada anti-tesa yang kontradiktif terhadap tesa. Setelah itu dua halyang
berkontradiksi itu tersintesakan dalam suatu kesatuan. Kesatuan ini lalu
menjadi tesa baru, menjadi suatu titik tolak baru. Demikianlah, tiga hal ini, tesa-antitesa-sintesa,
berulang-ulang terus tanpa berhenti dan tanpa batas. Ia bergerak bersama
eksistensi dan merentang sejauh rentangan keberadaan.
Contoh
logika dialektis ini adalah sebagai berikut.
Tesa
= Eksistensi itu ada. Anti-Tesa =
Eksistensi bukanlah sesuatu, karena ia adalah segala sesuatu, sehingga karena
itu eksistensi tidak maujud (tidak ada). Karena itu terjadi sintesa, yaitu sesuatu yang ada tapi
tidak sepenuhnya ada yang tidak lain adalah gerak. Kesimpulannya? Eksistensi
nyata itu menjadi.
Tesa =
Sesuatu itu hidup. Anti-Tesa =
Sesuatu yang hidup selalu berubah dan berkembang. Jika A berubah menjadi A’
maka A sebenarnya telah mati dan kematian A merupakan syarat bagi kehidupan A’.
Sintesa = setiap maujud hidup membawa
kematiannya sendiri setiap saat untuk memperoleh kehidupannya.
Bukan menjadi tujuan makalah ini untuk
mengkritik logika dialektis sebagai logika dialektis, walaupun itu sebenarnya
bukan hal yang sulit. Yang menjadi concern
dalam makalah ini adalah pertanyaan berikut; “Apakah benar klaim kaum
materialis (Marxis) bahwa logika dialektis seperti ini menggugurkan prinsi
non-kontradiksi? “ Jawabannya jelas,
salah. Argumennya adalah sebagai berikut.
Pertama, jika prinsip non-kontradiksi gugur, maka suatu
proposisi bisa sekaligus benar dan salah, sehingga tidak perlu kita yakini
(bahkan tidak perlu kita bicarakan) apakah pernyataan (proposisi) kaum
materialis ini benar atau pun salah.
Kedua,
pengertian kontradiksi yang
dimaksud oleh mereka (kaum materialis) bukan kontradiksi dalam logika klasik.
Contohnya dalam contoh kedua. Kehidupan A’ dan kematian A diartikan sebagai
suatu kontradiksi. Padahal menurut
logika klasik, ini tidak memenuhi syarat kesamaan subyek (A’ berbeda dengan A).
Sehingga ini sebenarnya bukan merupakan kontradiksi dalam logika klasik.
Selayaknya kita lebih berhati-hati
dalam mengkritik sesuatu, apakah sesuatu yang kita kritik itu berdasar lingua-franca ( language-frame) yang
benar atau sebenarnya kita hanyalah mengkritik suatu pendapat menurut imajinasi
atau language-frame yang kita buat
sendiri. Adalah satu kenyataan bahwa Hegel, lepas dari kenyataan bahwa dia
adalah filsuf besar, telah mengkritik sesuatu yang tidak atau belum ia pahami
dengan baik, yaitu prinsip non-kontradiksi. Walhasil, alih-alih kritiknya
sahih, malah ia telah mengkritik prinsip
non-kontradiksi menurut penafsiran dan pemahamannya sendiri. Ada sebuah
cerita lucu, ketika seorang suami Sunda bertanya kepada istrinya (orang Jawa)
yang sedang di WC; “Atos? Atos?” Istrinya pun berpikir, jorok bener suaminya
ini ? Atos menurut bahasa Sunda artinya sudah. Sedang menurut bahasa Jawa
artinya, keras. Jadi apa yang akan terjadi si istri langsung mendamprat
suaminya?
wallohu a’lam
Komentar Anda di rwblog.id adalah tanggapan pribadi, kami berhak menghapus komentar yang mengandung kata-kata pelecehan, intimidasi, dan SARA.
EmoticonEmoticon